Penyesalan
Angin malam berhembus kencang menerjang lapisan kulit setiap
insan yang merasakan meski rembulan tampil dengan bulat sempurna meski
bintang-bintang terang benderang menghiasi malam, namun pemandangan
tersebut tak turut menghibur hati Jono yang sedang padam bagai tersiram air
yang deras.
Jono adalah seorang pria yang sedang
berkepala lima akan tetapi satu persatu anaknya pergi meninggalkan Jono dan
istrinya, mereka tidak tahan dengan kondisi ekonomi keluarganya.
Jono termenung tak
berdaya, pandangannya kosong yang di pikirnya hanya satu bagaimana ia
mendapatkan uang dan tidur pulas di rumah bersama Tini istrinya dan Riko
anaknya yang masih tersisa, ia tak berani pulang ke rumah dengan tangan hampa
sebab jika pulang ia hanya mendapatkan cacian dari sang istri bahkan ia di
suruh tidur di luar rumah, sebenarnya Jono tak tahan lagi atas perlakuan Tini,
namun apa daya nasi telah menjadi bubur padahal sejak masih menjadi kekasihnya,
Ibu Jono melarang Jono berhubungan dengan Tini, Ibu Jono tidak suka dengan
sikap Tini yang sombong dan tak sopan itu akan tetapi Jono tidak
memperdulikannya, ia hanya ingin menikah dan membangun keluarga baru bersama
istrinya yang cantik yaitu Tini dan kini hanya ada penyesalan yang mendalam
yang di rasakan seorang pria yang selalu memakai kaca mata minues, selain hidupnya sengsara, ia pun sudah di
coret dalam buku harta warisan orang tuanya, bahkan ia menikah tanpa restu dan
kehadiran sang Ibu yang dulu di sayangnya.
Dua jam berlalu, Jono
masih dalam posisinya, duduk dan memandangi bintang di langit berharap bintang
itu jatuh kemudian ia dapat berdoa agar seseorang dapat membantu kesusahannya. Dua
jam yang tak sia-sia tiba-tiba benda asing jatuh dari langit, melihat peristiwa
tersebut sontak membuat Jono terkejut, ia beranggapan bahwa benda asing itu
adalah sebuah bintang yang jatuh dari angkasa, tanpa pikir panjang Jono segera
memanjatkan doanya.
“wahai bintang yang jatuh bantu lah aku dari kesusahan ini, berilah jalan
keluar untuk ku”, harapannya yang keluar dari mulut manisnya, meski ia masih
percaya dengan Tuhan.
Selang beberapa menit, suara handphone yang di ikat kuat menggunakan gelang
karet di permukaannya berbunyi dengan nada yang beraturan, senyum lebar
terpasang di bibirnya namun memori otaknya masih mengingat istri dan anaknya.
“semoga saja ini berita baik untuk ku”, ucapnya dalam hati.
Tangan kanannya yang semula memegang
permukaan kursi kini beranjak naik merangkul benda kotak kecil itu di saku
bajunya, sebuah pesan singkat dari seseorang yang tak asing dipikirannya.
JONO TOLONG PULANG KE RUMAH, IBU MU SAKIT PARAH
Melihat pesan tersebut ekpresi wajahnya
mendadak berubah, aliran darahnhya seakan-akan tak mau mengalir, jantung terasa
teriris belati tajam,tak terasa butir-butir air mata menetes, menetes, dan
terus menetes hingga kini ia di banjiri tangisan, doanya yang sudah ia ucapkan
berbalik menjadi bumerang untuk hidupnya.
“wahai bintang !, mengapa kau kabulkan doa yang bukan aku harapkan,mengapa kau tega
kepada ku? menambah beban di hidup ku”, protesnya seraya membentangkan kedua
tangannya,wajahnya menatap ke atas langit memberi ekpresi kesal, seolah tak
terima dengan berita buruk yang telah ia dapatkan.
Derai air mata yang pada
saat itu terus mengalir membasahi pipinya,mengingatkannya saat ia membuat
segores luka di hati ibu nya, mendorong sang ibu hingga terjatuh dan akhirnya
Ayah mengusirnya bersama istrinya, mungkinkah ini balasan untuk ku? ataukah
buah dari perbuatan ku selama ini kepada Ibu,pikirnya dalam hati.
Akhirnya ia bergegas menuju rumah orang
tuanya yang sangat membutuhkan kehadirannya, ia tak peduli nanti jika ibu nya
tak menerima kedatangannya, asalkan ia bisa bertemu dengan ibu, dan ibu nya lah
saja.